Cerita Budi Pekerti
Ding Lan Mengukir Kayu
Pada masa Dinasti Han (206SM - 220M) di Hanoi terdapat seorang yang bernama Ding Lan. Menurut legenda, dia merasakan keadaan dari “anak domba berlutut saat mengisap susu ibundanya” dan “burung gagak balas menyuapi ayahbundanya”, saat ayahbunda masih sehat tidak mampu menunaikan bakti sehingga membawa penyesalan yang amat menyakitkan, kerinduannya pada ayahbunda yang telah meninggal dunia semakin menggebu-gebu. Maka itu, dia menggunakan batangan kayu mengukir patung ayahbunda, lalu dipuja di altar rumah, memperlakukan sepasang patung kayu tersebut serupa ayahbunda masih hidup di dunia, dalam setiap hal-hal kecil takkan kehilangan rasa hormat.
Suatu hari di Kabupaten Zhi Ye (sekarang adalah Provinsi Hebei) ada seorang yang bernama Zhang Shu, datang ke rumah Ding Lan hendak meminjam barang, kebetulan Ding Lan sedang keluar, hanya tinggal istrinya di rumah. Saat itu istri Ding Lan ragu apakah boleh meminjamkan barang tersebut atau tidak, dalam keraguannya, dia jadi terpikir dalam keseharian biasanya dia bersama suaminya, jika ada hal yang sulit diputuskan, maka mereka akan bertanya pada patung ayahbundanya (biasanya dengan menjatuhkan dua bilah papan, kalau yang satu buka dan satu tutup berarti setuju), lalu dengan menuruti pendapat ayahbunda untuk membuat keputusan. Sesungguhnya dibawah pengaruh suaminya, tanpa disadari sang istri juga sudah menganggap sepasang patung kayu tersebut sebagai mertua laki-laki dan mertua perempuannya yang masih hidup, sangat berbakti.
Istri Ding Lan mencuci bersih sepasang tangannya, merapikan penampilannya, menyalakan dupa dan lilin, di hadapan patung kayu dia membungkuk dan bersujud, usai itu dia mengajukan pertanyaan, lalu diperoleh jawaban “tidak pinjam.” Maka itu dia menyampaikan apa adanya pada Zhang Shu. Siapa yang tahu ternyata sebelumnya Zhang Shu sudah meneguk arak, dibawah pengaruh alkohol, sesaat dia kehilangan akal sehat, lalu memarahi kedua patung kayu tersebut, saat emosinya memuncak dia bahkan memukuli patung kayu tersebut, barulah beranjak pergi.
Ding Lan yang baru pulang, seperti biasanya terlebih dulu dia akan menghadap patung kayu untuk memberitahu ayahbunda bahwa dia sudah pulang. Ketika dia sedang memuji wajah ayahbundanya, dia menemukan wajah ayahbundanya menjadi tidak senang, dalam hatinya dia merasa tidak tenteram, panik dan bertanya pada istrinya, barulah mengetahui bahwa perlakuan Zhang Shu yang tidak sopan memarahi dan memukuli patung kayu.
Sejak ayahbunda meninggal dunia, Ding Lan memandang patung kayu sebagai ayahbundanya, tidak pernah meremehkannya, tetapi sekarang malah ada yang berani bersikap tidak sopan pada patung kayu, hatinya begitu pedih seperti disayat-sayat pisau, sesaat amarahnya memuncak, dia pergi mencari Zhang Shu untuk membuat perhitungan. Tak terduga Zhang Shu ternyata tidak berdaya menyelami perasaan Ding Lan, ucapannya makin kasar. Keduanya mulai terlibat adu mulut, Ding Lan yang tidak mampu lagi menahan diri tiba-tiba melayangkan pukulan ke arah Zhang Shu. Zhang Shu yang merasa Ding Lan gara-gara kedua patung kayu berani memukuli dirinya, hatinya semakin panas, lalu dia menyeret perkara ini ke pengadilan.
Karena bukti sudah nyata, pihak pengadilan segera mengutus pengawal menangkap Ding Lan untuk disidang. Sebelum ditangkap, Ding Lan sangat bersedih hati, dia datang ke hadapan patung kayu ayahbunda, sepasang kakinya berlutut, sambil berlinang air mata sambil menyesali berkata : “Ananda tidak berbakti, tidak menjaga ayahbunda dengan baik, tidak hanya membiarkan kalian diperlakukan secara tidak adil, kini tanpa menggunakan akal sehat memukuli orang lain dan akan diadili di pengadilan. Dengan demikian bukan hanya membiarkan kalian harus mengkhawatirkan diriku, malah harus membiarkan kalian mendapat penghinaan, ananda sungguh berdosa!”
Pada saat Ding Lan membangkitkan penyesalan dari lubuk hati yang paling dalam di hadapan patung ayahbundanya, tak terduga muncullah keajaiban : Semua orang melihat dengan mata kepala sendiri, dari dalam mata patung kayu tersebut perlahan mengalir keluar air mata, dan mimik wajah patung kayu tersebut adalah begitu bersedih hati, orang-orang yang hadir saat itu tidak ada yang merasa terkesima.
Pejabat setempat yang mengetahui hal ini merasa salut pada hati bakti Ding Lan, lalu menyampaikan laporan kepada kaisar, bukan hanya menghapus hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ding Lan, bahkan merekomendasikan Ding Lan menjadi kandidat pejabat. Kemudian kaisar menurunkan titah untuk menuangkan kisah bakti Ding Lan ke dalam lukisan, untuk menunjukkan ajaran bakti dan etika moralnya, agar semua orang dapat meneladaninya.
Kisah “Ding Lan mengukir kayu” tidak hanya menunjukkan ketulusan bakti Ding Lan terhadap ayahbundanya, lagi pula sikapnya yang memperlakukan yang telah meninggal bagaikan masih hidup, mewujudkan budaya masyarakat yakni “dengan mengenang ayahbunda dan leluhur yang telah meninggal dunia, moralitas penduduk akan kembali menjadi tebal”, memperlihatkan teladan yang baik. Hati bakti dapat menggugah segala sesuatu, sehingga mengubah petaka menjadi kesejahteraan.
Kisah Ding Lan mengukir kayu ini, baktinya pada ayahbunda juga membangunkan masyarakat dunia akan : Genggamlah waktu yang terbatas bersama ayahbunda di dunia ini, segera wujudkan bakti. “Pohon ingin berdiam namun angin tak reda, ananda ingin berbakti namun ayahbunda telah tiada”, marilah kita memulainya dari diri kita sendiri, mulai dari saat sekarang juga, mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalihkan semua penyesalan yang mungkin timbul kelak di kemudian hari, menjadi sukacita hari ini dengan segenap usaha untuk mewujudkan bakti pada ayahbunda.
丁蘭刻木
一天,置鄴縣一位名叫張叔的人,到丁蘭家借東西,恰巧丁蘭外出了,只有他妻子在家。丁妻當時不知道是否當借,遲疑中,她想起平日裡,自己和丈夫遇到難以決定的事情,都是在父母的像前問卜,然後遵照卜到的「父母意見」再作決定。其實在丈夫的影響下,妻子早在不知不覺中,也將木像視為活著的公公婆婆,十分孝敬。
丁蘭的妻子洗淨雙手,整理儀容,點燃香燭,在木像前躬身禮拜後,就虔誠地問卜,結果得到的是「不借」的答案。於是,她只好將結果如實告訴張叔。哪知道張叔先前剛剛喝過酒,在酒精的作用下,他一時失去理智,當場對著木像大罵起來,氣憤至極,還動手打了木像幾下,然後纔憤憤離去。
丁蘭回來後,像以往一樣,首先到父母的像前稟告。當他瞻仰父母的面容時,看見父母的臉色似乎很不高興,心中深感不安,急忙向妻子詢問,纔得知是張叔對木像有過無禮的打罵行為。
父母過世後,丁蘭就視木像為父母,從未曾有絲毫的輕慢,如今有人居然如此非禮木像,他感到內心宛如刀割。情急之下,他跑去找張叔理論。不料張叔根本無法理解丁蘭的感受,出言更加不遜。二人話不投機,丁蘭忍不住和他爭執起來,情急之中,還出手用力責打了他。張叔見丁蘭為了兩個木像,竟然責打自己,心裡更感到忿忿不平,就向衙門告狀。
由於證據確鑿,衙門便派衙役捕捉丁蘭歸案。丁蘭被捕走前,心裡十分傷心難過,他來到父母的木像前,雙膝跪下,一邊流著眼淚,一邊懺悔地說:「兒子不孝,沒有照顧好二老,不但使你們受了委屈,現在又不理智地動手打了人,將要受到官府的懲罰。這樣不僅讓你們為孩兒擔懮,還使二老蒙受羞辱,實在是罪過!」
就在丁蘭發自內心向父母懺悔之時,想不到奇跡出現了:人們看見兩尊木像的眼睛裡,竟然緩緩流出了淚水,而木像的神情,是那麼痛苦難當,在場的所有人,無不為之驚奇震撼。
當地方官得知後,也為丁蘭的孝心而欽佩,於是就向皇上奏明瞭情況,不但免除了對丁蘭的處罰,還舉薦他為「孝廉」。後來,皇上又傳下詔令,命人把丁蘭的孝行事跡畫成圖畫,以彰顯他的孝道德行,號召大家都來學習。
《丁蘭刻木》的故事,不僅突現了丁蘭對父母的至誠孝心,而且他這種事死如事生的行為,對形成「慎終追遠 民德歸厚」的民風,樹立了很好的榜樣。孝心會感通萬物,使人遇難呈祥。
丁蘭刻木孝親的行為還喚醒世人:千萬把握住父母在世的有限時間,及時行孝。「樹欲靜而風不止,子欲養而親不待」,就讓我們從自己做起,從現在做起,努力將未來可能出現的種種遺憾,都化作今天力行孝道的無比喜悅。