Cerita Budi
Pekerti
Jiang Shi
Mengusir Istri
Bagian 1
Pada masa Dinasti Han Timur (25-220M), di
Kabupaten Guanghan, Dusun Xun, yakni sekarang adalah kota kuno kecil Xiaoquan
yang ada di Deyang, Sichuan, di sana tinggal sebuah keluarga, kepala
keluarganya bernama Jiang Shi. Ketika dia masih berusia kecil, ayahnya telah
meninggal dunia, bersama ibundanya mereka hidup dengan saling mengandalkan.
Dalam keseharian, Jiang Shi sangat berbakti,
mengerahkan segenap kemampuan untuk menjaga ibunda, tidak pernah membiarkan
ibunda khawatir dan kesal, para tetangga juga memperhatikan tingkah lakunya,
mengacungkan jempol buat dirinya, selalu memujinya. Maka itu, kisah bakti Jiang
Shi pada ibundanya tersebar di seluruh pelosok dusun.
Di Kabupaten Luo ada seorang cendekiawan
tersohor yang bernama Pang Sheng, memiliki seorang putri yang pintar dan bijak,
sejak kecil sudah diajari puisi dan sejarah, trampil menenun kain, terhadap
ayahbunda juga sangat berbakti.
Sekejab mata berlalu, dia telah sampai pada usia
menikah, pria yang ingin meminangnya berbondong-bondong datang tiada hentinya,
namun satu persatu ditolaknya mentah-mentah. Tidak lain hanya karena sang putri
meninggalkan sepenggal kalimat : “Ayah, di dalam Klasik Bakti tertera bahwa orang
yang tidak tahu mencintai ayahbundanya sendiri dan malah mencintai orang lain,
ini disebut bertentangan dengan moralitas.
Ayah seharusnya mencarikan seorang pria yang berbakti sebagai suamiku!”
Suatu hari Pang Sheng mendengar tentang Jiang
Shi yang amat berbakti, maka itu dia mengutus orang yang menyelidiki prilaku
Jiang Shi, ternyata benar Jiang Shi adalah anak yang sangat berbakti, bahkan
prilakunya juga benar dan lurus. Akhirnya dia bisa bernafas lega, melepaskan
batu yang mengganjal di hatinya.
Setelah melalui berbagai rintangan akhirnya
Jiang Shi dan Pang Shi menikah menjadi sepasang suami istri. Mereka saling
mencintai satu sama lainnya, melewati kehidupan dimana pria bertani dan wanita
menenun. Setelah setahun berlalu, lahirlah seorang bayi laki-laki, meskipun
kehidupan agak susah, namun mereka melaluinya dengan penuh semangat. Mereka
amat berbakti pada ibunda, terutama Pang Shi sebagai menantu, mengerahkan
segenap usaha untuk menjaga mertua perempuannya itu, mencuci kakinya, memijat
pundaknya, sementara dirinya sendiri juga gembira melakukannya.
Dalam sekejab mata beberapa tahun telah berlalu,
perlahan anaknya juga mulai tumbuh besar, ibunda Jiang juga semakin menua dan
melemah, tak terduga beliau diserang penyakit mata. Oleh karena tidak leluasa
dalam menjalani kehidupannya, ibunda Jiang jadi kesal dan suka marah-marah, terhadap
menantunya dia mulai mengeluh dan merasa tidak senang, ditambah lagi dengan
tetangga yang selalu merasa sirik, menggunakan kesempatan ketika putra dan
menantunya sedang tidak berada di rumah, mengumbar gosip, sehingga hati ibunda
Jiang semakin panas.
Jiang Shi dan istrinya jadi agak ketakutan kala
menghadapi sang bunda, mereka lebih berhati-hati dalam meladeni ibunda, takut
membuat ibunda jadi kesal dan marah. Suatu malam, ibunda Jiang bermimpi dari
rumahnya berjarak sejauh enam atau tujuh li ada air sungai yang dapat
menyembuhkan matanya, esok paginya dia mengutarakan hal ini kepada putra dan
menantunya.
Jiang Shi percaya akan hal ini, lalu berpesan
pada istrinya supaya pergi mencari air sungai tersebut, tidak boleh mengabaikannya.
Sang istri tentu saja memahami hati bakti suaminya, sejak itu setiap hari dia
berjalan menempuh perjalanan sejauh enam atau tujuh li untuk mengambil air di sungai
buat mertua perempuannya, berharap semoga penyakit mertuanya cepat sembuh.
Saat memasuki musim gugur dan musim dingin,
cuaca sangat kering, saat begini ibunda Jiang sering merasa haus, jadi teringat
akan air sungai tersebut. Menantunya sejak pagi-pagi sudah harus menempuh
perjalanan untuk mengambil air di sungai tersebut, namun tak terduga tiba-tiba
muncul badai, daun-daun berterbangan digulung angin, daun-daun jendela berbunyi
diterpa angin.
Sudah siang namun menantu masih tak kunjung
pulang, Ibunda Jiang kehausan dan tidak sabar lagi, hatinya gelisah, duduk atau
berbaring juga merasa tidak tenteram, emosinya jadi meledak, lalu menangis dan
mengadu pada Jiang Shi : “Putraku, lihatlah istrimu itu, sedikitpun tidak menaruh
perhatian pada ibu tuamu, suruh dia pergi mengambil air, tapi hingga sekarang
juga tak kunjung pulang, menantu yang tidak berbakti begini, untuk apa kamu
nikahi! Hari ini bagaimanapun juga kamu
harus ceraikan dia!”
Jiang Shi yang melihat ibundanya sedang dilanda
amarah, dia merasa amat bersusah hati, hanya bisa menghibur ibundanya. Pada
saat ini bertepatan menantunya baru sampai rumah, ibunda Jiang langsung
memarahinya, memaksa agar putranya menceraikan istrinya barulah hatinya merasa
lega. Meskipun di dalam hatinya merasa tidak ikhlas, namun Jiang Shi tidak
berani melawan kehendak ibundanya, dalam ketidakberdayaan dia terpaksa mengusir
istrinya dari rumah.
Pang Shi yang selama ini begitu penurut, namun
dalam menghadapi kenyataan ini, dalam hatinya ada sedikit merasa diperlakukan
tidak adil. Membalik badan melangkah keluar pintu rumah, di atas jalanan yang
terasa dingin dan senyap diantara orang yang lalu lalang, perlahan
bayang-bayang masa lalu mulai memenuhi alam pikirannya, perhatian dan kasih
sayang yang dicurahkan sang suami dalam keseharian, kenakalan sang anak yang
lucu, namun kehangatan itu bagaikan petir yang telah menghancurkan jiwa dan
raganya. Kemudian rumah tangga yang penuh keharmonisan itu kini telah lenyap
bagaikan awan gelap, bagaimana hatinya mampu mengikhlaskan!
Pendidikan tata krama yang diperolehnya sejak
kecil, selama tahun-tahun belakangan ini dia sudah terbiasa dengan “bila
bertemu masalah tanyakan kembali pada diri sendiri”, maka itu dia kembali merenungkan hari-hari
yang telah pernah dia lalui, namun dia tetap saja tidak dapat menemukan dimana
letak kesalahannya yang sesungguhnya, sehingga mertuanya begitu murka setiap
kali melihatnya, sehingga mertuanya begitu tidak sabar menantinya pulang
mengambil air di sungai, Pang Shi yang selama ini begitu berbakti malah
akhirnya merasa malu pada dirinya sendiri. Akhirnya dia memutuskan tinggal
untuk sementara waktu di rumah tetangga Ibu Tua.
姜詩出婦
(一)
東漢時期,在廣漢雒縣汛鄉,就是今天四川省德陽市孝泉古鎮,那裡住著一戶人家,戶主名叫姜詩。在他還小的時候,父親便去逝了,只與母親相依為命。平日裡,姜詩格外孝順,盡心侍奉,從未讓母親懮心生過氣,鄰里鄉親看在眼裡,都對他豎起大拇指,嘖嘖稱贊不已。於是,姜詩侍母的孝名就在鄉里傳開了。
雒縣有位名士叫龐盛,有一個聰明賢惠的女兒,從小教以詩書禮儀,織布裁衣,對父母也是百般孝順。轉眼也到了該出嫁的年齡,儘管上門提親的人是絡繹不絕,卻都被一一拒之門外。不為別的,只因女兒留下一句話:「爹爹,《孝經》有云:不愛其親而愛他人者,謂之悖德。您得為女兒找個孝順父母的好夫君啊。」
一天,龐盛聽聞了姜詩的孝名,於是便派人去打聽姜詩的為人,發現姜詩名不虛傳,且為人正直。終於捋著鬍鬚,長長地舒了口氣,放下了心中的石頭。
幾經周折,姜詩和龐女結為夫婦。夫妻倆恩愛相處,過起了男耕女織的生活。過後一年,又生了一個胖小子,雖然生活苦了點,卻過得是有滋有味。夫妻倆都對母親孝順備至,龐氏尤其精心照顧,給婆婆打洗腳水,捶背揉肩,自己也樂在其中。
轉眼幾年過去了,兒子漸漸長大,姜母卻日漸衰老,不曾想又犯了眼疾。因為生活的不便,姜母脾氣暴戾起來,對媳婦就有了不滿之心,加上鄰里有人嫉妒,趁龐氏不在家的時候搬弄是非,姜母越發對龐氏沒有好聲色。姜詩夫婦誠惶誠恐,侍奉母親更加小心在意,生怕惹得母親生氣。有一天晚上,姜母夢到離家六七里的江水可以醫治自己的眼疾,便對兒子媳婦說起這件事。姜詩信以為真,叮囑妻子去江中取水,不能有絲毫怠慢。龐氏自然理解丈夫的這片孝心,從此,每天都步行六七里去江中取水回來給婆婆飲用,希望真能治好婆婆的病。
秋冬季節,天氣乾燥,這天姜母口渴,思飲江水。龐氏一大早便去江中取水,而天公偏不作美,刮起了大風,風卷秋葉漫天飛舞,窗外呼呼作響,如虎吼猿啼。龐氏遲遲未歸,姜母在家口渴難耐,內心煩悶,坐臥不安,一時怒起,便對姜詩哭訴:「兒啊,你看看你這個媳婦,也不體恤你老娘,看我口渴命將休矣,也慢慢吞吞地不回來,做這等忤逆不孝事的媳婦,你娶來做甚啊!今天你非得給我休了她!」姜詩見母發怒,心裡極其難受只得好言勸慰。就在此時龐氏正好取水回來,姜母見之便鬧將起來,非要兒子將媳婦休去纔肯罷休。姜詩心裡雖然不捨,卻不敢違了母親心意,無奈之下將妻子逐出了家門。
龐氏性格一向溫順,然而因風延誤,遭此大變,心裡自是異常委屈。隻身離開家門,在街頭孤獨徘徊,點點滴滴幸福的往事又浮上心頭,丈夫平日裡的體貼與關愛,兒子的調皮又可愛,溫情像閃電一樣擊中她的身心。然而幸福美滿的家庭剎那間化為烏有,卻如何割捨得了呢!自小的教養,多年來她已經習慣於「行有不得,反求諸己」,於是她又將一天的經過細細思量,覺得自己也有沒做好的地方,纔致使婆婆口渴難耐,一向孝順的她反而生起愧疚之心。於是,她悄悄地住在了鄰居大媽家中。