Cerita Budi
Pekerti
Penantian Shi-en
Di Larut Malam
Bagian 1
Pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1573-1619), ada seorang yang
bernama Chen Shi-en, lulus ujian sarjana muda. Mereka sekeluarga terdiri dari
tiga bersaudara, abang sulung merupakan orang yang memiliki etika moral yang
bagus, berbakti dan jujur, memperoleh penghormatan dari para penduduk dusun. Chen
Shi-en berada di urutan kedua, saat itu dia masih belum memiliki keberhasilan.
Namun moralitasnya juga serupa dengan abangnya dan mendapat pengakuan dari
orang banyak, terutama sikap rendah hatinya dan sopan santun, suka bersahabat,
sehingga orang lain merasa mudah mendekatinya.
Namun si bungsu oleh karena jarak usia yang agak
jauh dari kedua abangnya, maka sejak kecil ayahbunda lebih memanjakannya,
sehingga setelah dewasa, setiap hari malas bekerja, menghabiskan waktunya
dengan berhura-hura. Bahkan terlibat dalam pergaulan buruk, bersama sekelompok
temannya itu setiap hari keluyuran, seringkali pagi-pagi sudah tidak tampak
batang hidungnya dan tengah malam baru pulang rumah.
Pepatah mengatakan : “Abang sulung bagaikan
ayahanda”. Prilaku adik bungsu mendapat perhatian serius dari abang sulung.
Andaikata adik bungsu tidak menjadi orang yang berhasil, bagaimana kelak harus
bertanggungjawab pada ayahbunda dan para leluhur? Maka itu setiap ada
kesempatan, abang sulung akan menasehati adik bungsu : “Adik! Jangan lagi suka
keluyuran! Harus pulang lebih awal, jangan sampai keluarga jadi mengkhawatirkan
dirimu!”
Namun adik bungsu yang masih dalam usia muda
penuh emosi, sekali dua kali abang sulung menasehatinya, dia masih diam saja,
namun begitu berulang kali dinasehati, dia bukan saja tidak sudi menerimanya,
malah mulai melawan. Selanjutnya setiap kali melihat abang sulung, dia akan
menghindar, andaikata tidak berhasil menghindar maka dengan terpaksa dia
mendengar nasehat abangnya, masuk telinga kanan keluar telinga kiri dan
sebaliknya, namun asalkan ada kesempatan maka dia keluyuran lagi.
Begitu bertemu dengan kelompok temannya itu, dia
merasa lebih dekat daripada abangnya sendiri. “Kenyamanan mengundang asusila,
asusila akan melupakan kebajikan”. Adik bungsu karena melepaskan pengendalian
diri, semakin tidak berdaya memisahkan diri dari kelompok teman hura-huranya
tersebut, dalam hatinya malah menyalahkan abang sulungnya yang suka mencampuri
urusannya. Abang sulung yang melihat adik bungsu tidak sudi mendengar
nasehatnya, yang masih juga bertindak sesuka hati dan kini tingkahnya makin
menjadi-jadi, hatinya sungguh pilu dan gelisah.
Chen Shi-en yang melihat situasi ini,
mempersilahkan abangnya duduk dan berbincang-bincang. Abang sulung berkata :
“Saya begitu bersusah payah menasehati adik bungsu, tapi tingkahnya malah
semakin hari semakin menjadi-jadi. Dengan sikap yang tidak sopan menyahutku,
apakah saya ada bersalah padanya?” Mengingat bahwa nasehatnya tidak digubris,
abang sulung juga merasa ada sedikit kesal.
Chen Shi-en menghibur abangnya : ”Abang sulung
berbuat sedemikian juga demi kebaikan adik bungsu, ini tidak salah, saya juga
mengkhawatirkan prilaku adik selama ini. Tetapi ketika abang berbicara pada
adik, nadanya terlalu tegas, anak muda mungkin akan merasa kehilangan harga
diri. Lagi pula juga akan melukai hatinya, baginya tidak ada manfaatnya sama
sekali. Begini saja, berilah daku sedikit waktu, biar saya saja yang
menasehatinya, untuk sementara waktu abang jangan pedulikan masalah ini lagi”. Akhirnya
abang sulung dan Shi-en menyepakatinya.
Malam itu, tangan Chen Shi-en menggenggam kunci
pintu gerbang halaman, sambil berdiri di depan pintu gerbang menanti kepulangan
adiknya. Saat itu, malam bertaburan bintang dan dibawah terangnya cahaya
rembulan, ada sebuah jalan yang menembusi ke luar dusun, di kedua sisi jalan
tumbuh pepohonan Mulberry yang rimbun. Tanpa sadar Chen Shi-en jadi terkenang
akan masa kecil adiknya yang begitu lucu. Ah! Waktu berlalu dengan sungguh
cepat, usia abang sulung saja telah mencapai setengah abad, sedangkan Shi-en
sendiri telah mencapai usia 40 tahun, sementara adik dalam sekejab mata telah
berubah menjadi seorang pemuda, persaudaraan bagaikan tangan dan kaki, begitu
bernilainya!
Sesaat hembusan semilir malam membelai dirinya,
sejenak Shi-en sempat menggigil kedinginan. Adik belum juga pulang, dia jadi
terpikir, sejak pagi adik sudah keluyuran, apakah pakaian yang dikenakannya
cukup menghangatkan? Lagi pula sekelompok teman foya-foyanya adalah anak-anak
muda yang masih belum berpengalaman, mana tahu menjaga dirinya sendiri? Makan
juga tidak teratur. Ah! Wajah adik kini juga sudah tampak lusuh, sungguh
berbeda dengan sebelumnya.
Malam semakin larut dan sunyi senyap, setiap
keluarga sudah memadamkan lampu dan beranjak tidur, setiap insan telah memasuki
dusun mimpi yang manis dan wangi, namun Shi-en masih setia berdiri di depan
gerbang pintu, menanti dan menatap terus ke depan, dengan penuh kesabaran dia
menunggu kepulangan sang adik. Tiba-tiba dibawah sinar rembulan tampak sebuah
bayangan bertubuh kurus kering, dia memastikan itu adalah adik kesayangannya,
dengan penuh kegembiraan dia bertanya : “Ini adik bungsu ya?”
“Ah! Ternyata abang kedua!”. Dia tak pernah
menduga abang keduanya itu akan menungguinya, sehingga membuatnya agak gugup.
“Cepatlah masuk rumah! Di luar dingin!” Melihat adiknya melangkah masuk ke
dalam halaman, Shi-en cepat-cepat menutup gerbang pintu halaman sambil
menguncinya. Adik bungsu mulai menerka kali ini gantian abang keduanya yang
akan memberinya pelajaran, namun yang terus kedengaran adalah suara lembut
abang keduanya : “Apakah kamu sudah makan? Dingin tidak?”. “Oh ya, sudah makan,
tidak dingin kok!”, selesai menjawab si adik segera bergegas masuk ke dalam
kamarnya.
Keesokan paginya, seperti biasa adik bungsu
sudah keluyuran keluar, seharian tidak kelihatan batang hidungnya, malam
harinya Chen Shi-en kembali menanti kepulangan adiknya, berdiri di depan
gerbang pintu sambil menatap dan mengharap. Adik bungsu tidak mengira abang
keduanya menungguinya lagi, kali ini dia mulai merasa tidak enak hati dan
sedikit bersalah, berdiri diam di depan pintu gerbang dan tidak enak hati
melangkah masuk ke halaman rumah. Chen Shi-en tertawa dan berkata : “Apakah sudah
tidak ingin masuk ke dalam rumah sendiri ya? Ayo cepat masuk, biar saya kunci
pintunya”.
Setelah adik masuk ke dalam halaman rumah, Chen
Shi-en mengunci pintu gerbang, begitu mencium bau arak dari tubuh adiknya dia
langsung bertanya : “Minum arak ya? Tidak nyaman bukan? Saya baru mempersiapkan
segelas teh hangat, minumlah, ini dapat menghilangkan pengaruh araknya”. Lalu
memapah adiknya masuk ke kamarnya sendiri, melihat adiknya sudah selesai minum teh hangat dan
membasuh mulut, berpesan padanya agar lekas istirahat.
Kali ini sang adik benar-benar tidak mampu
tertidur! Andaikata abang kedua juga serupa abang sulung memarahinya, maka dia
takkan memiliki perasaan apapun di benaknya, namun masalahnya abang keduanya
malah tidak menyalahkannya sama sekali. Terpikir prilakunya bermabuk-mabukan
dan berfoya-foya di luar, adik merasa sedikit demam. Sekejab kemudian dia jadi
terkenang akan kasih sayang kedua abang terhadap dirinya, sejak kecil hingga
dewasa mereka amat memanjakannya. Terutama abang kedua, tidak pernah mengeluh
sama sekali menjaga dan merawatnya, terkenang akan hal ini, kasih sayang
persaudaraan kembali mengalir dalam lubuk hatinya.
世恩夜待
(一)
明朝時候,有一個人姓陳名世恩,他是明神宗皇帝萬曆年間的進士。「萬曆」是明神宗的年號,他是在「乙丑」年考中的進士。
他們這一家有弟兄三人,長兄是一個學問道德都很好的人,孝順廉潔,得到鄉里的敬重。陳世恩是老二,當時還沒有成就。但是德行也如兄長一樣為眾人所稱許,尤其是他那種謙遜有禮,平易近人的態度,更使人覺得他易於接近。但他們的第三個弟弟由於與他們相隔的歲數比較大,父母對這個兒不免有些寵愛,因此長大了之後,他就整日無所事事,東遊西逛。並且結交了一批狐朋狗友,到處遊蕩,經常是一大早就不見了人影,深更半夜纔回來。
俗話說:「長兄如父」。三弟的年少輕狂令大哥看在眼裡,急在心頭。假如三弟不成器,自己該如何向高堂老父老母交待,又如何對得起列祖列宗呢?於是,只要有機會,大哥就把三弟叫到一邊,苦口婆心地勸他:「三弟呀!不要再在外面遊蕩了!要早點回家,免得讓家人擔心啊!」
三弟正是年輕氣盛的時候,大哥勸一次、兩次還罷,次數多了,他不但聽不進去,還開始對大哥反感起來。以後他見到大哥就躲,實在躲不過,勉強聽著,也是左耳朵進,右耳朵出,只要有機會就溜出去。一見到那幫朋友,覺得比自己的哥哥親多了。俗話說:「逸則淫,淫則忘善」。三弟因為放逸自己,不免越發離不開這幫一起吃喝玩樂的朋友,心裡還怪大哥多管閑事。
大哥看到三弟不僅不聽自己的規勸,依然我行我素,並且比以前有過之而無不及,心裡十分痛苦、煩悶。
陳世恩見此情景,請大哥與自己坐下來促膝長談。大哥說:「我如此煞費苦心地勸告三弟,他卻愈發變本加厲。公然以不良的行為回答我,難道是我哪裡做錯了嗎?」想到自己的好心卻被弟弟當成了驢肝肺,大哥不禁有些激動。
陳世恩按住哥哥的手,對他說:「大哥,你的心是為弟弟好,這個沒錯,我對弟弟的行為也很擔懮。但是你對弟弟講話的時候,語氣太直接了,年輕人恐怕面子上掛不住。並且還會傷到他的內心,對他來講一點益處都沒有。這樣吧,你給我一段時間,由我來勸他,你暫時先放下這件事。」陳世恩和大哥就這樣說定了。
當天晚上,陳世恩手裡拿著院子大門的鑰匙,在門前等弟弟回來。此時,夜空中月朗星稀,月色下,有一條路通向村外,路旁長著茂密的桑樹跟梓樹。陳世恩不禁回想起弟弟小時候天真可愛的模樣。唉!時間過得真快,哥哥已年過半百,自己也到了不惑之年,弟弟也一眨眼就長成了大小夥子了,手足之情,彌足珍貴啊!
一陣清涼的風吹來,陳世恩感覺身上有些發冷。弟弟還是沒有回來,他想到弟弟一大早出去,也不知衣服穿夠了沒有?再說,在外面閑逛,都是一幫不經世事的年輕人,怎麼照顧得好自己?飽,橕一頓;餓,挨一頓。唉!弟弟的臉色好像是比以前差很多了。
夜深人靜了,家家戶戶都已歇息,人們都已進入了香甜的夢鄉,陳世恩還在門外徘徊,他耐心地等待著弟弟。突然,在月光下前面走來一個瘦長的身影,他根據身形判定是弟弟,高興地說:「是三弟嗎?」
「啊,是二哥。」弟弟沒料到是二哥在等他,意外之下顯得有點不知所措。「趕快進來吧!外面冷。」世恩看著弟弟走進院子,就親自把院門關起來,並且把鎖鎖上。
弟弟以為二哥開始要教訓他了,沒想到耳朵邊卻傳來二哥親切的問候:「你吃晚飯了沒有?冷不冷?」 「噢……吃了,不冷。」弟弟說完,就急急忙忙地回自己房間去了。
第二天一大早,弟弟又溜出去了,仍然是一整天也沒有回來,陳世恩和前一天一樣,晚上仍在院子門口等弟弟。
弟弟沒想到二哥又在等他,不免有些心虛,站在院子外不好意思進來。陳世恩笑著說:「自己家門都不進了嗎?進來吧,我好鎖門。」
弟弟進門後,陳世恩照舊把院門鎖好,他聞到弟弟身上有一股酒氣,關切地說:「喝酒了,難不難受?我剛好泡了一杯濃茶,你喝了可以解解酒。」說罷,世恩就把弟弟帶到自己房間,看他喝了茶,漱了口,囑咐他早點歇息。
這下弟弟可有些睡不著了!假如二哥也像大哥那樣罵自己幾句,自己倒覺得無所謂,但是二哥卻半點也沒責怪自己。回想起自己在外面花天酒地的情形,弟弟覺得臉上有些發燒。一忽兒,他又想到自己從小到大,兩位哥哥對自己疼愛有加。尤其是二哥,從來都是無微不至地照顧自己,想到他,心裡覺得特別親。