Cerita Budi
Pekerti
Semoga Paduka
Senantiasa Bijaksana
(Bagian 2)
Tempo hari ketika Chong'er
melarikan diri dari negerinya, Jie Zhi-tui harus meninggalkan ibundanya untuk
mendukung dan mengikuti Chong'er berkelana selama 19 tahun. Saat mereka
melewati masa yang paling sulit, persediaan beras sudah kandas, Chong'er
menderita kelaparan hingga tersiksa, sampai jalan pun sudah tidak sanggup lagi.
Jie Zhi-tui merasa sungguh prihatin, tidak tega melihat majikannya harus mati
di tengah jalan. Maka itu dia memotong sedikit daging di kakinya, lalu memberi
makan tuannya. Ini merupakan kisah yang mengharukan.
Setelah kehidupan pengembaraan
berakhir, Jiu Fan selalu memperhitungkan jasanya sendiri. Jie Zhi-tui tidak
sependapat, dia berkata : “Hari ini paduka dapat memperoleh kembali tahta
kerajaan, ini adalah jasa seluruh rakyat, juga takdir Langit, dan anda malah
menganggap ini adalah jasamu seorang, sungguh memalukan. Saya tidak ingin
berada bersama dengan orang sepertimu”.
Kemudian Jie Zhi-tui memutuskan
pergi meninggalkan negerinya, berpamitan pada kaisar dan juga pada kenangan
pengembaraan penuh liku-liku selama 19 tahun, mendayung perahu sendirian, mengasingkan
diri diantara hijaunya pegunungan dan jernihnya air.
Ketika Kaisar Jin menganugerahkan
penghargaan kepada para pejabat yang telah berjasa membantunya saat menjalani
hidup berkelana, tidak terpikir olehnya Jie Zhi-tui yang sedang berada di pengasingan,
Jie Zhi-tui juga tidak pernah mengungkit-ungkit jasanya sendiri. Dia mengeluh :
“Langit takkan membiarkan keruntuhan Dinasti Jin dan tidak melindunginya. Di
istana Kekaisaran Jin, berapa banyak cobaan yang telah dihadapi oleh paduka, menjadi
kaisar bijak harapan rakyat banyak. Dia ditakdirkan menjadi Kaisar Negeri Jin,
ini adalah berkat dukungan rakyat dan anugerah dari Langit. Lalu ada
pengikutnya yang justru merasa ini adalah berkat jasanya seorang, bukankah ini
adalah pemikiran yang munafik! Merampas barang milik orang lain disebut dengan
perampok, apalagi serakah akan anugerah dari kaisar, menjadikan jasa orang lain
sebagai jasanya sendiri! Orang begini bagaimana boleh berada bersama
dengannya?”
Ibunda Jie Zhi-tui menasehatinya
: “Daripada hidup miskin melarat, lebih baik memohon sedikit anugerah dari
Kaisar Jin, agar kehidupan kita bisa sedikit lebih lumayan. Dan andaikata kini
kamu sudah mati, juga tidak tahu harus memohon kepada siapa lagi, jadi buat apa
harus bersikeras?” Jie Zhi-tui berkata : “Sudah jelas menentang sikap
sedemikian, tetapi malah berpura-pura lagi, bukankah dosa ini lebih besar?
Pokoknya saya takkan menerima gaji dari Kekaisaran Jin”.
Ibunda berkata : “Jasamu begitu
besar dan juga tidak mengharapkan pamrih, mengapa tidak diberitahukan saja
kepada penduduk Negeri Jin?”
Jie Zhi-tui menjawab : “Sejak
awal saya telah memutuskan untuk menyembunyikan hal ini, buat apa diungkapkan
keluar? Andaikata saya masih memperhitungkan jasaku dan meminta imbalan,
bukankah ini masih mengharapkan balas budi? Ibundanya mengeluh dan berkata lagi
: “Memiliki putra yang begitu teguh tekadnya seperti dirimu merupakan berkah
terbesar bagi bunda. Karena kamu memang sudah membulatkan tekad untuk
mempertahankan moralitas yang indah ini, maka saya akan mengikutimu
bersama-sama mengasingkan diri”.
Generasi demi generasi memuji
kebajikan Jie Zhi-tui. Jin Wen-gong mengenang budi kebajikan Jie Zhi-tui,
memikirkan segala cara untuk mengundang Jie Zhi-tui masuk ke istana, namun
ditolaknya. Jie Zhi-tui meneruskan semangatnya yang tidak bersaing dengan orang
lain, lebih baik pulang saja, juga menghindari kunjungan dari Kaisar Jin
Wen-gong.
Akhirnya Kaisar Jin mendapat
kabar bahwa Jie Zhi-tui mengasingkan diri di Gunung Mian. Kaisar memerintahkan
untuk membakar gunung, hanya menyisakan sebuah jalan keluar, berharap agar Jie
Zhi-tui menggendong ibundanya keluar melalui jalan tersebut. Kemudian jago
merah membara selama tiga hari tiga malam, namun tidak tampak bayangan ibu dan
anak. Setelah api padam orang-orang menemukan jasad Jie Zhi-tui dan ibundanya,
hangus terbakar di bawah sebatang Pohon Liu.
Kaisar Jin berjalan perlahan di
Gunung Mian, pikirannya mulai menerawang akan masa-masa bersama melewati hari-hari
yang penuh kesusahan, betapa hatinya sungguh berterimakasih. “Beta akan
mengganti nama gunung ini menjadi Gunung Jie, untuk mengingat dosaku, mengenang
seorang ksatria yang penuh kesetiaan dan berbakti”.
Kaisar Jin mengebumikan jenazah Jie
Zhi-tui dan ibundanya di bawah Pohon Liu, bahkan membangun kuil buat Jie
Zhi-tui, kemudian mengerahkan seluruh pejabat dan prajurit untuk
menyembahyanginya, dalam hatinya begitu pilu dan menyakitkan. Kaisar Jin
mengambil bagian Pohon Liu yang hangus terbakar, lalu dibuat menjadi sepasang
sepatu kayu, setiap hari airmatanya berlinang mengenang seorang pejabat yang
penuh kesetiaan.
Tak terduga pada tahun kedua, di
bagian Pohon Liu yang hangus terbakar itu tumbuh tunas-tunas hijau yang
kemudian tumbuh berkembang. Kaisar Jin mengambil sebatang tunas tersebut lalu
disematkan di mahkotanya. Beliau menitahkan kepada seluruh rakyat negerinya
agar hari pembakaran gunung ditetapkan sebagai Festival Makanan Dingin, setiap
tahun pada hari tersebut, tidak boleh menyalakan api, termasuk memasak, hanya
boleh makan makanan dingin, sebagai kenangan pada seorang yang berjasa namun tidak
mengharapkan pamrih, tidak tamak akan kekayaan, Jie Zhi-tui.
Pada hari berlangsungnya Festival
Makanan Dingin, penduduk menggunakan tepung dan pasta membuat “Roti Zi-tui”,
bahkan membentuknya sehingga menyerupai burung layang-layang, disebut “burung
layang-layang Zhi-tui”. Masyarakat menggunakan dahan Pohon Liu untuk
menggabungkan roti berbentuk burung layang-layang ini, diletakkan di depan
pintu untuk mengenang Jie Zhi-tui. Mereka juga menggunakan ranting Pohon Liu
yang dirangkai melingkar lalu diletakkan di atas kepala, lalu dahan Pohon Liu
diletakkan di depan maupun belakang rumah, untuk mengenang Jie Zhi-tui. Kesetiaan
dan kejujuran Jie Zhi-tui selamanya
hidup dalam sanubari setiap insani.
Sejak jaman dahulu kala hingga
kini, Festival Makanan Dingin dan Festival Qingming memiliki kesamaan yakni
mengenang para terdahulu, mencerminkan budaya masyarakat Tionghoa yang penuh
kebajikan yang berlangsung dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara
turun temurun. Mengenang budi kebajikan para leluhur adalah bagaikan rintikan
hujan gerimis yang berlangsung secara terus menerus, yang melembabkan dan
membasahi permukaan tanah yang luas dan mendalam, secara diam-diam mengalir
dalam nadi darah setiap anak dan cucu Bangsa Tionghoa.
但願主公常清明
(二)
介之推,又名介子推,「子」是古代對賢者的一種尊稱。當年介子推離家別母,追隨重耳在外流浪了一十九年。在他們最艱難的時候,眼看食物都吃光了,重耳飢餓到了極處,連路都走不動。介之推感到非常沈痛,他不忍心看著自己的主人,就此餓死在奔亡的路途中。所以就悄悄割下自己腿上的肉,把肉燒給主人吃。這就是歷史上著名的「割股侍君」的感人故事。
流亡生活結束後,咎犯對個人的功勞念念在心。介子推感到很不以為然,他說:「公子得以復國,這是民心所向、天心所歸,而您卻認為是個人的功勞,真是令人感到羞恥啊。我不願意和這樣的人同處一朝。」於是介子推功成身退,歸隱而去。他告別了十九年來患難與共的君上,獨自駕船離去,隱居於山水之中。
晉文公賞賜功臣,沒有顧及隱居在外的介子推,介子推也從來不標榜自己的功勞。他感嘆地說:「上天絕不會眼看著晉國滅絕,而捨之不顧。在晉國的王室中,主上承受了多少心志的磨練,成為眾望所歸的賢明之君。他注定會成為晉國的國主,那是子民殷殷的眾望,也是上天賦予的大任。然而隨從的大臣卻認為是自己的功勞,這是多麼虛無不實的想法!竊取他人的財物尚且稱之為盜,何況是貪求皇天的功業,把它看作是自己的呢!這樣的人怎麼能與之共處?」
晉文公賞賜功臣,沒有顧及隱居在外的介子推,介子推也從來不標榜自己的功勞。他感嘆地說:「上天絕不會眼看著晉國滅絕,而捨之不顧。在晉國的王室中,主上承受了多少心志的磨練,成為眾望所歸的賢明之君。他注定會成為晉國的國主,那是子民殷殷的眾望,也是上天賦予的大任。然而隨從的大臣卻認為是自己的功勞,這是多麼虛無不實的想法!竊取他人的財物尚且稱之為盜,何況是貪求皇天的功業,把它看作是自己的呢!這樣的人怎麼能與之共處?」
介之推的母親勸他說:「與其如此窮苦不堪,還不如向君王求取一些封賞,日子興許過得寬裕一些。而今你就是死了,也不知向誰申訴,這又何苦呢?」介之推說:「指責這樣的行為,卻又傚法於它,這個罪過不是更大嗎?既然有言在先,我是絕不會接受晉國的俸祿的。」
母親說:「你的功勞這麼大,又不求任何的回報,把這樣的志節告知晉國的人,又有何妨?」介之推說:「言語是處事立身的文采與華章。我既然一心想要歸隱,哪裡還需再為自己表白什麼?如果去邀功請賞,這不是念念還希求顯達嗎?」他的母親感嘆地說:「有你這樣有志節的兒子,是為人母親最大的幸福。既然你要堅守美善的德行,我就和你一起隱居吧。」
時人曾經贊美介子推,說他就像是輔助龍主昇天的祥龍。當龍主得以縱橫萬里的時候,其他的四條龍,也都隨之飛黃騰達了。但卻只有介子推不求利祿,歸隱而去。
晉文公感念介子推的恩德,想盡辦法要召請他入朝,但都被拒絕了。介子推堅持自己與人無爭的志節,與「不如歸去」的追求,一再地避開晉文公的追訪。最後文公終於打聽到,介之推隱居在綿山之中。於是他決定放火燒山,只留下一條通路,希望介子推背著他的母親,從這條路上逃下來。然而大火燒了三天三夜,卻始終沒有見到母子二人的身影。等到火光絕滅之後,人們發現介子推和他的母親,已經被燒死在一棵柳樹之下。
晉文公緩步走在綿山之中,遙想那些患難與共的日子,內心無限感慨。「就把這座山封為介山,記下我的罪過,旌表忠孝清烈的善人吧。」
晉文公把介子推和他的母親安葬在柳樹之下,並為介之推建立了祠堂。他率領文武大臣來拜祭他,內心沈痛異常。晉文公用那棵燒焦的柳樹,做成了一雙木鞋,每天傷心地流著眼淚,哭喊著「悲哉足下」,痛惜追念股肱之臣那真摯不渝的忠誠與清烈。想不到第二年,就在那棵燒焦的柳樹上,一條條嫩綠的枝芽,又開始迎風飄展了。晉文公折下了一束枝條,戴在了自己的頭冠上。他曉諭全國,把放火燒山的日子定為寒食節,每年的這一天禁絕煙火,不生火做飯,只吃冷食,以表達對有功不居、不圖富貴的介子推的懷念。
在寒食節那天,人們用麵粉和棗泥製成「子推餅」,並捏成燕子的形狀,稱之為「之推燕」。百姓們用柳條把燕子串起來,插在門上,召喚著他的回來。人們還把柳條編成圈戴在頭上,把柳枝插在房前屋後,以示追念。介子推以他的忠義與清烈,長長遠遠地活在了人們的心間。
「清明無客不思家」,伴隨著家庭、宗族那深厚的凝聚力,千百年來,寒食節與清明節以其特有的「慎終追遠」的蘊涵,表現和傳承了中國人萬代久遠相襲而繼的敦厚良善的民風。在每個感念祖德的共享時分,它就像綿綿無盡的細雨一般,潤澤在這片廣袤而又深厚的土地上,靜靜地流淌在屬於華夏子孫的血脈之中。
編後語:太史公曾經說過:「晉文公是古人所謂的明君,流亡在外十九年,舉步維艱,歷經磨難。然而即位後追賞大臣,尚且遺忘了介子推,那麼那些無心治國的驕主們,又會是怎樣的呢!所以說在上位的領導者,要統御萬邦、安撫百官,是多麼不容易的一件事啊。」到了東漢時代,三萬名太學生的首領、「介休三賢」之一的郭泰,在綿山為介子推修建了一座孝廉牌坊,以表達對先賢的追念與崇敬。